Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HUKUM SEPUTAR BERHIAS BAGI WANITA

HUKUM SEPUTAR BERHIAS BAGI WANITA
oleh Syaikh Sholih Fauzan

Hukum Menyambung Rambut:

Sebagaimana seorang muslimah dilarang untuk mencukur rambut kepalanya atau memangkasnya tanpa keperluan, maka sungguh dia juga dilarang untuk menyambungnya dan menambahinya dengan rambut lain. BErdasarkan riwayat yg terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim: " Rasulullah shallalohu 'alayhi wasallam melaknat al-washilah dan al-mustawshalah."

Al-washilah adalah wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut wanita lain. Sedagkan al-mustawshalah adalah wanita yang meminta agar rambutnya disambung dengan rmbut lain. Karena hal itu mengandung pemalsuan. Dan salah satu bentuk penyambungan rambut yang diharamkan adalah pemakaian wig yang sudah populer di zaman sekarang.

Bukhari, Muslim dan yang lainnya telah meriwayatkan bahwa Muawiyah radhiallohu 'anhu berkhutbah ketika datang ke MAdinah dan mengeluarkan segulung atau segumpal potongan rambut dan berkata, "Mengapawanita-wanta kalian menjadikan yang seperti ini di kepala mereka?, Aku telah mendengar Rasulullah shollalohu 'alayhi wasallam bersabda: "Tidak ada seorang wanita pun yang menjadikandi kepalanya rambut dari wanita lain, melainkan itu merupakan keduataan."

Dan wig adalahsuatu keburukan. Ia rambut buatan yang menyerupai rambut kepala. Dan mengenakannya termasuk tindakan pemalsuan

Hukum Membuat Tato:

Diharamkan atas seorang muslimah untuk membuat tato di tubuhnya. Karena Rasulullah shallahu 'alayhi wasallam telah melaknat al-wasyimah dan al-mustawsyimah. Al-wasyimah adalah wanita yang menusukkan jarum ke tangan atau wajah kemudian mengisi tempat yang ditusuk itu dengan celak atau tinta. DAn al-mustawsyimag adalahwanita yang meminta agar dibuatkan tato padanya. Ini adalah perbuatan yang diharamkan dan merupakan salah satu dosa besar. Karena Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam telah melaknat wanita yang mengerjakannya dan meminta agar itu dilakukan padanya. Sedangkan LAKNAT itu tidak ditujukan kecuali atas suatu DOSA BESAR.

Dinukil dari Majalah Akhwat Edisi 2

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nasihat Penting Menyambut Bulan Ramadhan


Copy Paste dari milis assalafiyat

Datangnya bulan Ramadhan merupakan idaman setiap muslim. Ungkapan Ahlan wa Sahlan Ya Ramadhan (selamat datang Ya Ramadhan) tidak hanya keluar dari qalbu dan lisan, bahkan persiapan demi persiapan pun selekas mungkin dilakukan, dengan penuh harapan dan kegembiraan semoga bisa bertemu dengan bulan suci umat Islam itu.


Namun sayang, kegembiraan itu sering diwarnai dengan perselisihan dalam menentukan awal masuknya shaum (puasa) bulan Ramadhan ataupun awal bulan Syawal (Iedul Fithri). Karena telah muncul berbagai macam suara dan cara dalam menentukan awal masuk dan keluarnya bulan suci Ramadhan, baik itu keputusan dari partai-partai ataupun ormas-ormas Islam.


Akhirnya yang nampak adalah perselisihan demi perselisihan, hingga suasana pun menjadi keruh, panas dan bingung. Tetapi kita semua tidak boleh bingung, karena Al Qur’an dan As Sunnah yang dibawa oleh Rasulullah adalah sebagai kunci atau rujukan utama dari setiap masalah yang ada. Namun yang harus diingat, bahwa Al Qur’an dan As Sunnah itu harus sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh para sahabat Nabi . Itulah kunci yang asli sehingga pas dan tepat untuk mengatasi setiap masalah yang ada, bukan kunci imitasi identik untuk kepentingan tertentu.



Masuk Dan Keluarnya Bulan Ramadhan Ditentukan Dengan Ru’yatul Hilal Bukan Dengan Ilmu Hisab
Penentuan mulai masuknya bulan Ramadhan dilakukan dengan cara melihat bulan terbit sebagai tanda dimulainya awal bulan hijriyah yang lebih populler disebut ru’yatul hilal. Apabila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka caranya ialah dengan melengkapkan bilangan hari dalam bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari-rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)


Adapun hadits Abdullah bin Umar y :
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“…jika terhalangi, maka perkirakanlah.” Makna dari kata “perkirakanlah”, telah diterangkan oleh Rasul sendiri pada hadits yang sebelumnya, yaitu; فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن atau فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ, yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari” atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. (HR. Al-Bukhari)


Dari hadits-hadits diatas jelas sekali menunjukkan bahwa penentuan masuknya Ramadhan dengan ru’yatul hilal adalah suatu ibadah yang masyru’ah (yang diperintahkan) bukan perkara ijtihadiyah. Sehingga ilmu perbintangan dan ilmu hisab tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Hal ini bisa ditinjau dari berbagai sisi, diantaranya:
1. Bertentangan dengan nash (dalil) dari Al Qur’an yang mengaitkan hukum shaum dengan ru’yah dan persaksian hilal. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Barangsiapa yang menyaksikan syahru (hilal) Ramadhan maka bershaumlah.” (Al Baqarah: 185)
2. Bertentangan dengan dhahir hadits-hadits yang shahih (sebagaimana hadits-hadits diatas).
3. Bertentangan dengan (ijma’) kesepakatan para sahabat, tabi’in dan para imam setelah mereka.
4. Adanya pernyataan dari para ahli ilmu perbintangan sendiri bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki, dan kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab sendiri dalam menentukan hilal.


Bershaum Dan Ber-Iedul Fithri Bersama Pemerintah Dan Kaum Muslimin
Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam di atas jama’ah (kebersamaan) , dengan cara mengikuti bimbingan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh para sahabat Nabi . Bukan malah berpecah belah, sungguh nista keadaan ini dan dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya . Allah berfirman (artinya): “Dan berpengang tegulah dengan tali Allah (Al Qur’an dan As Sunnah), dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)


Rasulullah bersabda:
الجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفِرْقَةُ عَذَابٌ
“Jama’ah itu adalah rahmat sedangkan perpecahan itu adalah adzab.” (HR. Ibnu Abi Ashim, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Bulan suci Ramadhan dan Iedul Fithri/Adha merupakan syi’ar Islam yang agung. Rasulullah telah menegaskan pula tolok ukur bagi kaum muslimin tentang waktu pelaksanaannya tersebut dengan mengutamakan prinsip jama’ah (kebersamaan) . Rasulullah bersabda:
الصَوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Ash Shaum (Ramadhan) itu pada hari kalian semua bershaum, Iedul Fithri itu pada hari kalian semua ber-Iedul Fithri dan Iedul Adha itu juga pada hari kalian semua ber-Iedul Adha.” (HR. At Tirmidzi, lihat Ash Shahihah no. 224, karya Asy Syaikh Al Albani)


Prinsip mengedepankan kebersamaan selalu dijaga dan diwasiatkan pula oleh para sahabat Nabi dan juga para imam-imam setelah generasi mereka.
Al Imam Al Baihaqi meriwayatkan sebuah atsar dari ‘Aisyah . Pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), Masruq datang menemui ‘Aisyah , ketika itu Masruq ragu untuk bershaum, karena khawatir pada hari itu sudah masuk hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah). Maka ‘Aisyah berkata: “An Nahr (Iedul Adha) itu adalah pada hari kaum muslimin ber-Iedul Adha dan Iedul Fithri pada hari kaum muslimin ber-Iedul Fithri.” Maksud dari perkataan ‘Aisyah adalah merujuk (bersandar) kepada prinsip kebersamaan bukan pendapat pribadi. (Lihat Ash Shahihah 1/442)


Al Imam Ibnu Abdil Bar menukilkan pendapat dua orang tabi’in, Asy Sya’bi dan An Nakha’i. Keduanya menyatakan bahwa tidak boleh seorang pun bershaum kecuali bersama jama’ah (kaum muslimin).


Al Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayatnya: “Shaum itu dilakukan bersama imam dan jama’ah baik dalam keadaan (langit) itu cerah ataupun mendung.” (Lihat Majmu’ Fatawa 25/114-118)


Al Imam At Tirmidzi berkata: “Beberapa ulama menafsirkan makna hadits ini, yaitu bahwa penentuan shaum dan Iedul Fithri bersama dengan jama’ah atau mayoritas kaum muslimin.”


Abul Hasan As Sindi dalam Hasyiah Ibnu Majah -setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi- berkata: “Makna yang nampak pada konteks hadits ini; “Sesungguhnya dalam perkara penentuan (Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha -pen), tidak ada pintu bagi person-person untuk berbicara dalam masalah ini, dan tidak boleh pula untuk menyendiri (menyelisihi mayoritas). Bahkan seharusnya perkara tersebut dikembalikan kepada pemerintah dan jama’ah (kaum muslimin). Setiap individu muslim berkewajiban untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah. (Lihat Ash Shahihah 1/442)



Bila negara lain telah mengumumkan terlihatnya hilal, apakah boleh bershaum dengan bersandar dengan ru’yah negara lain?
Permasalahan ini terkait dengan adanya sebagian ulama yang berpandangan bahwa ru’yah suatau negeri berlaku untuk semua negeri lainnya. Sedangkan kebanyakan para ulama, berpandangan bahwa suatu negeri memilki ru’yah sendiri sesuai dengan perbedaan mathla’ (tempat terlihatnya hilal saat terbit) masing-masing negeri.


Ketahuilah wahai para pembaca! Asy-Syaikh Al-Albani adalah salah seorang ulama yang merajihkan (menguatkan) bahwa ru’yah suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri lainnya, namun beliau memberikan nasehat yang sangat berharga bagi kaum muslimin dalam kitabnya Tamamul Minnah hal. 298. Beliau berkata: “Tetapi saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shaum Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri. Ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi, karena hal ini akan memperluas perpecahan.


Di dalam Ash Shahihah 1/442-444), beliau juga menegaskan bahwa tolok ukurnya adalah terkait dengan kesepakatan jama’ah (kaum muslimin) atau pemerintah dan bukan pendapat pribadi. Beliau menyebutkan atsar ‘Aisyah yang mengingkari perbuatan Masruq (seperti diatas) dan juga atsar Ibnu Mas’ud , ketika ada orang yang menyanggahnya: “Anda mengingkari khalifah Utsman shalat di Mina 4 rakaat (yang seharusnya 2 rakaat), namun anda tetap shalat dibelakangnya 4 rakaat? Baliau menjawab: “Perpecahan itu berakibat lebih buruk.”


Asy Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Merupakan kewajiban kaum muslimin agar selalu di atas kebersamaan, tidak boleh bercerai berai didalam agama Allah. Allah berfirman (artinya): “Dia (Allah) telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama sebagaimana yang telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kalian bercerai berai tentangnya.” (Asy Syura :13)


Dan Allah juga berfirman (artinya):
“Maka berpegang teguhlah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Al Imran 103)


Dan Allah juga berfirman (artinya):
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas pada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksaan yang pedih.” (Al Imran 105)


Sehingga wajib menyatukan kalimat (barisan) kaum muslimin dan tidak berpecah belah di dalam agama Allah. Hendaklah penetapan waktu pelaksanaan shaum mereka adalah satu dan penetapan Iedul Fithri mereka juga adalah satu. Dengan cara mengikuti sebuah lembaga (resmi -pen) yang telah ditentukan oleh mereka -yang saya maksudkan adalah sebuah lembaga agama milik pemerintah yang menaungi berbagai urusan kaum muslimin- dan jangan sampai mereka berpecah-belah, meskipun mungkin berbeda dengan waktu shaum Kerajaan Saudi Arabia atau negara-negara Islam lainnya, maka tetaplah mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh lembaga (pemerintah) tersebut. (Fatawa fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52, karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)



Bila ada yang telah melihat hilal, kemudian bersaksi dihadapan waliul amr dan ditolak persaksiannya. Apa yang harus ia lakukan?
Asy syaikh Bin Baz berkata: “Bila seorang muslim bersaksi kepada pemerintah (waliyul amr), bahwa dia telah melihat hilal Ramadhan namun tidak diterima persaksiannya. Hal ini merupakan perkara yang masih diperbincangkan dikalangan para ulama:
a. Kebanyakan para ulama menyatakan wajib baginya untuk bershaum karena dia telah mendapatkan keyakinan masuknya bulan Ramadhan pada dirinya dengan ru’yahnya sendiri. Maka dia bershaum walaupun mendahului kaum muslimin, namun dia ber-Ied bersama kaum muslimin yang lainnya.
b. Sebagian para ulama lainnya berpandangan tidak boleh baginya bershaum bila ditolak persaksiannya. Berlandaskan hadits Nabi (artinya): “Ashaum itu pada hari kalian semua bershaum dan Iedul Fithri itu pada hari kalian ber-Iedul Fithri dan Iedul Adha itu pada hari kalian ber-Iedul Adha.”


Pada hari yang kaum muslimin belum bershaum, maka tidak boleh baginya bershaum. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan jama’ah dari para ulama, karena terkandung makna yang lebih nampak dan jelas pada konteks hadits Nabi tersebut. Dan bila kaum muslimin belum bershaum, maka persaksian dia tidaklah berguna bagi dirinya maupun orang lain dan tidak boleh baginya bershaum sendiri. Pendapat inilah yang paling rojih (kuat). (Majmu’ Fatawa Asy syaikh Bin Baz 3/176-177)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bagi orang yang telah melihat hilal dan ditolak persaksiannya, walaupun dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syari’at atau bahkan ternyata pemerintah tersebut bersandar dengan ahli perbintangan, tetap wajib mengikuti jama’ah dan pemerintah. Beliau berkata: “Sungguh telah datang hadits shahih dari Nabi (artinya): “Mereka (para pemerintah) shalat sebagai imam bagi kalian, bila mereka benar maka balasannya bagi kalian dan mereka, dan bila mereka salah balasannya bagi kalian dan kesalahannya merupakan tanggung jawab mereka.”


Maka kesalahan pemerintah merupakan tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawab kaum muslimin. (Majmu’ Fatawa, 25/206)


Kalau toh sekiranya, seseorang yang telah melihat hilal memilih pendapat wajibnya shaum, walaupun persaksiannya ditolak oleh pemerintah, hendaknya dia bershaum secara sirriyah (tidak menampakkan terang-terangan di hadapan khalayak). (Lihat Fatwa fi Ahkamish Shiyam hal. 74-75, karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)

http://www.assalafy/ .org/mahad/ ?p=117#more- 117

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS